Asbanda & Bank Sultra Fasilitasi Roadshow Pengelolaan Perbankan Daerah

  10-06-2021   |     Asbanda   Facebook   Twitter


Asbanda & Bank Sultra Fasilitasi Roadshow Pengelolaan Perbankan Daerah

Asbanda dan Bank Sultra memfasilitsi roadshow pengelolaan perbankan daerah yang digelar Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri bersama Otoritas Jasa Keuangan. Kegiatan ini digelar sebagai sosialisasi POJK Nomor: 12/ POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang mensyaratkan perbankan daerah untuk memiliki modal inti minimum Rp3 triliun sampai akhir Desember 2024. Sebagai perbankan kebanggaan masyarakat Sultra, Bank Sultra sedang berjuang secara konsolidatif untuk memenuhi tanggung jawabnya.

BANK PEMBANGUNAN DAERAH (BPD) di Indonesia meyakini mampu meningkatkan modal inti dan memenuhi regulasi dengan penambahan modal dari pemegang saham maupun rights issue. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyatakan siap merilis aturan terbaru mengenai Permodalan Bank. Di dalamnya ada ambang batas bawah modal inti bank umum konvensional dikerek naik menjadi Rp3 triliun dari Rp100 miliar.

Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) H. Ali Mazi, SH., menghadiri Roadshow Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri bersama Otoritas Jasa Keungan (OJK) dan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) dengan tema Dalam Rangka Pemenuhan Modal Inti Bank Sultra, di Phinisi Ballroom Claro Hotel Kendari, Kamis 27 Mei 2021.

Hadir bersama Gubernur Ali Mazi, antara lain Direktur Bank Sultra Abdul Latif, Kepala Otoritas Jasa Keuangan Sulawesi Tenggara Mohammad Fredly Nasution, Sekda Prov. Sultra Nur Endang Abbas, para Bupati/Wali Kota selaku pemegang saham Bank Sultra, para Ketua Komisi Bidang Penganggaran DPRD Sultra dan Kab./Kota se-Sultra, para pejabat pimpinan tinggi pratama lingkup Pemprov Sultra, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Prov. Sultra, para Sekda Kab./Kota se-Sultra, Dewan Komisaris Bank Sultra.

Roadshow ini dihadiri Sekjen Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Yuddy Renaldi, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang Widjanarko (via Vidcomm), dan Sekretaris Direktorat Jendral Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Drs. Komaedi, M.Si.

Gubernur Ali Mazi, dalam sambutannya menyampaikankan bahwa untuk memenuhi tanggung jawab pemenuhan modal inti Bank Sultra yang dilakukan saat ini, tetap dijadikan acuan dalam menyusun langkah-langkah strategis.

Menurut Gubernur Ali Mazi, kegiatan yang digelar ini sebagai bentuk perhatian dan dukungan serius Pemerintah Pusat bersama lembaga-lembaga terkait, dalam upaya meningkatkan daya saing dan sekaligus memperkuat peran Bank Sultra sebagai salasatu pilar penopang pertumbuhan ekonomi daerah. “Pada gilirannya diharapkan dapat berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat secara berkelanjutan,” kata Gubernur Ali Mazi.

Gubernur Ali Mazi menyadari kondisi Bank Sultra yang masih berjuang untuk merealisasikan kewajiban pemenuhan modal intinya paling lambat tanggal 31 Desember 2024. “Hal ini menjadi agenda serius untuk kita dalami bersama.”

Disampaikan oleh Gubernur Ali Mazi, bahwa dalam RUPS pada Maret 2021, seluruh pemegang saham telah menyatakan komitmennya mendukung Bank Sultra untuk memenuhi modal inti paling lambat akhir tahun 2024. Sehingga kegiatan roadshow ini, diharapkan Gubernur Ali Mazi menjadi injeksi sekaligus pemicu bagi para pemilik saham Bank Sultra untuk lebih termotivasi dalam memaksimalkan berbagai langkah dan upaya bersama, agar jumlah modal inti minimum Bank Sultra dapat terpenuhi, sebagaimana diamanatkan POJK Nomor: 12/ POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.

“Saya selaku, Gubernur Sultra dan sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Sultra, kembali mengimbau kepada seluruh pimpinan daerah beserta seluruh OPD, untuk bersungguh-sungguh mendukung pemenuhan setoran modal tersebut, baik melalui penganggaran setiap tahun dalam APBD/APBDP masing-masing Pemda, atau melalui penyetoran kembali seluruh deviden yang diterima sebagai setoran modal inti kepada Bank Sultra,” ujar Gubernur Ali Mazi.

Diketahui bersama, Bank Sultra adalah bank milik pemerintah daerah yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan sektor jasa keuangan kepada masyarakat dan pemerintah daerah.

Sementara itu, dalam sambutannya, Dirut Bank Sultra Abdul Latif memaparkan sejumlah pencapaian dan langkah strategis yang telah dilakukan Bank Sultra dalam memenuni amanat perundangan, khususnya kewajiban pemenuhan modal inti BPD sebesar Rp3 triliun.

Selain terus mengejar pemenuhan modal intinya, Bank Sultra saat ini sedang berkonsentrasi melakukan digitalisasi banking dengan membenahi sistem komputasi perbankan sehingga secara operasional Bank Sultra dapat sejajar dengan perbankan lainnya dalam layanan internet banking. “Tidak lama lagi, para nasabah Bank Sultra dapat melakukan transaksi ATM dan banking online di seluruh Indonesia,” demikian Dirut Bank Sultra Abdul Latif.

Direktur Utama yang berhasil mengantarkan Bank Sultra meraih penghargaan sebagai bank terbaik sepanjang 2019-2020, khususnya Best Bank Award 2020 versi Majalah Investor sebagai Bank Terbaik 2020 Kategori BPD dengan Modal Inti Rp1 – 5 Triliun, ini menyatakan komitmennya untuk mengejar target pemenuhan modal inti Bank Sultra di atas Rp3 triliun sebelum tengat Desember 2024.

Pada sesi talkshow, Sekda Pemprov Sultra Nur Endang Abbas ikut memaparkan kecemasannya dalam sesi tanya-jawab. Sekda Pemprov Sultra Nur Endang Abbas meminta Pemerintah Pusat meninjau untuk sementara kebijakan batas minimum pemenuhan modal inti bagi perbankan daerah.

Menurut Sekda Pemprov Sultra Nur Endang Abbas, kondisi pandemik yang belum berakhir, secara tidak langsung ikut mengintrusi pertumbuhan bank-bank daerah di Indonesia. Kelambanan pertumbuhan bank daerah sedikit-banyak dipengaruhi kondisi ekonomi Indonesia, dan global.

“Sebagai badan usaha daerah kebanggaan masyarakat, Bank Sultra selalu kami harapkan bertumbuh dengan baik dan benar. Selaku komponen Pemprov, kami selalu mengupayakan agar equitas finansial Bank Sultra terus menguat dan dapat diandalkan untuk membantu banyak sektor ekonomi masyarakat, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tentu saja, kami berharap agar otoritas kebijakan perbankan Nasional, mau memoratorium kebijakan batas minimum modal inti bank daerah, setidaknya, sampai perekonomian Indonesia benar-benar dinyatakan pulih dan keluar dari ancaman pandemik,” kata Sekda Pemprov Sultra Nur Endang Abbas.

Tiga Tantangan BPD Bangun Perekonomian Daerah

Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) mengungkapkan ada tiga tantangan usaha yang harus dihadapi BPD agar mampu berperan lebih besar dalam pembangunan dan perekonomian daerah.

Tantangan pertama adalah BPD ke depan diharapkan dapat menyentuh open banking. Jika selama ini BPD berkutat pada peningkatan kantor cabang, maka di masa datang BPD harus dapat memanfaatkan Application Programming Interface (API). Sebab, melalui infrastruktur API, BPD bisa menjadi hub institusi yang bergerak di bidang keuangan.

Tantangan kedua yang harus dihadapi BPD adalah penguatan kelembagaan. Hal ini disebabkan komposisi pemegang saham BPD bersifat menyebar dan lebih kompleks dibandingkan bank BUMN maupun swasta. Karena sifat kepemilikan sahamnya yang menyebar itulah, penerapan GCG diperlukan untuk menghindari agent conflict principal akibat adanya informasi asimetris antara pemegang saham dan agen.

Tantangan ketiga, berupa penguatan modal karena mayoritas BPD yang berada pada BUKU II dengan modal inti kurang Rp3 triliun, sehingga terbatas untuk pengembangan bisnis dan teknologi. Diketahui, salasatu sumber modal yang bisa menjadi tumpuan bagi BPD adalah setoran APBD, namun terkadang dividen yang dibagikan mayoritas paling besar di antara BUMD ternyata tidak mencukupi permodalan dari BPD.

Asbanda mengharapkan agar penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, perlu ditinjau kembali agar pengaturan BPD tidak disamakan dengan BUMD lainnya.

Empat Lembaga Sepakat Kuatkan BPD

Per Desember 2020, Kemendagri, OJK, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyepakati perlunya meningkatkan peran dan kontribusi BPD terhadap perekonomian daerah dan nasional, sekaligus mewujudkan sistem keuangan yang stabil, kuat, dan berintegritas.

Keempat lembaga itu mendorong BPD untuk terus menjaga profesionalisme dan integritas, sehingga menjadi bank regional yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Kemendagri berharap agar BPD dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa keuangan dan pemangku kepentingan lainnya secara efektif, efisien, namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Kepada pemerintah daerah selaku pemegang saham BPD, dalam melaksanakan pemilihan pengurus BPD agar mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, serta memperhatikan aspek integritas, profesionalisme, dan kompetensi para calon pengurus. Upaya penguatan BPD ini juga sejalan dengan program yang sedang dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Catatan OJK menyatakan keberhasilan Pemulihan Ekonomi Nasional merupakan akumulasi dari penguatan ekonomi daerah yang saat ini mulai terlihat dari penyaluran kredit BPD yang tetap tumbuh positif sebesar 4,99 persen (YoY) dan 3,29 persen (ytd) per posisi Oktober 2020. Sehingga akselerasi program transformasi BPD menjadi prioritas agar BPD menjadi lebih kompetitif, kuat, dan kontributif untuk mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional.

Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi meminta BPD menjauhkan diri dari kepentingan yang tidak terkait dengan kegiatan usahanya. KPK mendorong BPD untuk berani mencegah intervensi dari berbagai pihak yang dapat melanggar prinsip kehati-hatian, profesionalisme, dan integritas sistem keuangan. Menurut KPK, BPD bisa menjadi pelopor pencegahan korupsi di level daerah.

Sementara itu, PPATK menekankan agar BPD sepatutnya terus meningkatkan efektivitas implementasi program anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT), yang mencakup penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa. Dalam lima pilar penerapan program APU-PPT, yang meliputi pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris, kebijakan dan prosedur, pengendalian intern, sistem manajemen informasi, dan sumber daya manusia dan pelatihan, termasuk yang juga krusial adalah pelaporan yang wajib disampaikan BPD kepada PPATK untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.

Pernyataan bersama Kemendagri, OJK, PPATK, dan KPK tersebut juga dibarengi dengan komitmen bersama akselerasi transformasi BPD, penerapan tata kelola yang baik, dan peningkatan efektivitas penerapan program APU-PPT.

Komitmen bersama itu ditandatangani oleh pemegang saham pengendali, komisaris utama, dan direktur utama dari seluruh BPD di Indonesia. Asbanda meyakini bahwa komitmen itu dapat mengakselerasi transformasi BPD sebagai motor pertumbuhan ekonomi daerah.

Penerapan PMPJ dan lima pilar penerapan program APU-PPT akan menjadi upaya bersama BPD dalam menjaga integritas sistem keuangan di lingkup daerah masing-masing.

OJK Bantu Cari Solusi Alternatif

Aturan modal inti diaplikasikan secara bertahap dalam periode tiga tahun. Pada tahun 2020, modal inti minimal harus mencapai Rp1 triliun, pada 2021 menjadi Rp2 triliun, dan pada 2022 menjadi Rp3 triliun.

Sejumlah BPD terus berupaya memenuhi aturan tersebut, dan di sisi lain OJK juga tetap mencari alternatif bagi bank daerah yang tidak mampu memenuhi aturan tersebut.

Untuk diketahui, saat ini bank umum konvensional diklasifikasikan menjadi empat kelas berdasarkan modal inti yang dimiliki, yakni BUKU I, BUKU II, BUKU IIII, dan BUKU IV.

Bank BUKU I merupakan bank dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun. Bank BUKU II memiliki modal inti paling sedikit Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun. Bank BUKU III memiliki modal inti paling sedikit Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun. Sementara itu, bank BUKU IV memiliki modal inti setidaknya Rp 30 triliun.

Kemendagri Awasi 14 BPD

Kementarian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama OJK tengah mengawasi 14 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang belum memenuhi modal inti sebesar Rp3 miliar.

Sub Direktorat Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD, Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri tengah bekerja sama dengan OJK mendorong 14 Pemerintah Daerah yang modal inti BPD-nya di atas Rp1 triliun dan di bawah Rp3 triliun. Dari total 24 BPD dan 2 BPD syariah, 12 di antaranya telah memenuhi modal inti di atas Rp3 triliun, sedangkan 14 lainnya masih memerlukan perhatian khusus.

Ke-14 BPD yang belum memenuhi modal inti, antara lain BPD Sulawesi Tengah dengan modal inti Rp1,06 triliun, BPD Bengkulu sebesar Rp1,06 triliun, BPD Lampung Rp1,11 triliun, dan Bank Sultra Rp1,23 triliun.

Bank Maluku dan Bank Maluku Utara memiliki modal inti sebesar Rp1,24 triliun, BPD Sulawesi Utara dan BPD Gorontalo sebanyak Rp1,34 triliun, BPD NTB Syariah Rp1,37 triliun, lalu BPD Jambi membukukan modal inti sebesar Rp1,6 triliun. BPD NTT yang baru memenuhi modal inti sebanyak Rp1,8 triliun dan BPD Kalimantan Selatan Rp1,89 triliun.

Tiga bank lainnya telah memiliki dana inti di atas Rp2 triliun, yaitu Bank Aceh Syariah dengan modal inti sebanyak Rp2,05 triliun, BPD DIY sebanyak Rp2,33 triliun serta BPD Kalimantan Barat mencatatkan modal inti sebanyak Rp2,81 triliun.

Di sisi lain, masih ada 27 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Syariah yang belum mencapai modal inti minimum. Seluruh bank dalam mekanisme perbankan ini perlu perhatian pemerintah dalam penguatan likuiditas, dukungan ke arah elektronik banking, serta penguatan SDM.

Selama pandemi Covid-19, kredit BPD tumbuh lebih tinggi dibandingkan bank lainnya yakni 5,09 persen (YoY). Demikian pula serapan dari Program Penempatan Uang Negara (PUN) di BPD sebesar Rp16,2 triliun telah terserap hingga 2,2 kali dengan total kredit Rp36,33 triliun.

Saat ini, BPD menunjukkan pertumbuhan positif meski terjadi pandemi Covid-19. Hingga September 2020, total aset BPD berjumlah Rp796,45 triliun, tumbuh 11,65 persen (YoY), dengan total kredit BPD mencapai Rp473,16 triliun, total dana pihak ketiga Rp646,7 triliun, dan laba bersih sebanyak Rp9,8 triliun. 

.

  Comments